Melihat Indonesia Apa Adanya


Ini adalah minggu ketiga saya kembali ke Tanah Air tercinta, Indonesia. Mungkin memang benar kata orang; hujan emas di negeri orang, tetap lebih nikmat hujan batu di negara sendiri.

Pengalaman selama satu tahun hidup di Amerika, negeri penuh mimpi dan berbagai perwujudannya, sedikit banyak telah merubah arah pandang saya yang selama ini menurut saya terlalu menggebu-gebu, terlalu penuh dengan idealisme dan keinginan memperbaiki Indonesia.

Sebagai perantau di negeri orang, saya belajar banyak untuk sedapat mungkin mengamati segala sesuatu terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Pada akhirnya kegiatan mengamati ini membawa dampak besar dalam hidup saya. Mengamati yang di dalam diri, yang di luar diri. Mengamati Amerika dari kacamata orang Indonesia, mengamati pula Indonesia dari Amerika. Belajar untuk menjadi seorang pengamat ternyata sangat berbeda dengan saat menjadi seorang yang terjun dan terlibat langsung dalam perkara-perkara hidup bermasyarakat di Indonesia.

Persis satu tahun yang lalu saya membuat film dokumenter yang menyuarakan hak Ahmadiyah sebagai kaum yang termarjinalkan. Sebuah film yang penuh idealisme, yang ingin mengubah pola pikir dan mengedukasi masyarakat Indonesia, yang ingin mengkoreksi segala kesalahan pola pikir dan kebobrokan mental bangsa ini.

Minggu ketiga di Indonesia, saya masih berlaku sebagai pengamat, namun saya juga menjadi pelaku dan terlibat betul dengan isu dan permasalahan yang kini terlihat begitu nyata. Tiba-tiba saya menerima sebuah pesan elektronik dari YouTube: Comment Posted on "Sang Ahmad"

Saya penasaran. Wah masih ada saja yang perduli dengan isu ini pikir saya. Saya coba klik link tersebut tapi tidak bisa. Rupanya ada yang melaporkan komentar tersebut sebagai spam. Setelah mencoba beberapa kali akhirnya saya bisa melihat komentar yang kira-kira dalam bahasa Indonesia (komentar tersebut ditulis dalam bahasa Inggris) berbunyi seperti ini:

"Kenapa film ini menyuarakan kesejahteraan Indonesia? Semua orang perlu sadar bahwa Indonesia hanya tumpukan sampah dan omong kosong! Yang perlu kita aspirasikan adalah persatuan Islam! Bukan Pancasila & Indonesia!"

Entah kenapa rangkaian kalimat di atas membuat darah Indonesia saya sangat sedih. Diri saya satu tahun yang lalu mungkin akan terlena oleh kesedihan itu dan memupuk benih kekecewaan baru. Namun saya yang ada pada saat ini sadar betul akan rasa sedih saya, mengamati rasa sedih saya, bagaimana kemunculan rasa sedih itu, bagaimana ia tinggal, dan bagaimana akhirnya ia tenggelam.

Dengan mengamati, saya sadar akan kekacauan batin saya. Dengan mengamati saya menemukan kesadaran bahwa ia yang memberi komentar tersebut juga adalah diri saya sendiri. Inilah diri saya pada satu tahun yang lalu yang penuh idealisme, yang ingin mengubah pola pikir dan mengedukasi masyarakat Indonesia, yang ingin mengkoreksi segala kesalahan pola pikir dan kebobrokan mental bangsa ini. Saya dan dia adalah sama. Kami berjuang untuk satu keyakinan yang sama, yaitu "kebenaran."

Dengan mengamati dan sadar, saya dapat dengan jernih mentransformasikan rasa sedih dan kekecewaan saya menjadi sebuah pengertian yang mendalam. Pengertian total yang akhirnya disertai belas kasih kepada dia yang juga adalah saya. Tiba-tiba hilang sama sekali keinginan untuk mengkoreksi, mengedukasi dan mengubah mereka yang tidak sepaham dengan saya. Dalam pengertian total yang saya alami hanya ada keinginan untuk menerima dan mencintai. Keinginan mengkoreksi, mengedukasi dan mengubah akhirnya hanya saya amati sebagai gerakan ego saya untuk menjadi "yang benar", bukannya melihat, menerima dan mencintai segala sesuatu apa adanya. 

Dalam pengamatan, kesadaran dan melihat segala sesuatu apa adanya, tidak ada lagi dualitas baik-buruk, salah-benar, ekstrimis-fatalis, maskulin-feminis, religius-sekuler, yang ada hanya pengertian mendalam dan cinta kasih kepada siapapun dari kutub manapun. Keyakinan, nilai yang dianut, paham dan idealisme tidak lagi menjadi sesuatu yang berarti. Cinta kasih kepada sesama tidak lahir dari keyakinan, nilai, paham atau idealisme. Cinta kasih lahir murni dari pengertian, yang bersumber pada pengamatan dan kesadaran total akan diri dan sesama.

Akhirnya saat tidak ada lagi dualitas, menjadi pengamat sesungguhnya tidak berbeda dengan menjadi pelaku.

Mengamati Indonesia dan melihat Indonesia apa adanya adalah mencintai Indonesia. Mengamati dan melihat dengan apa adanya, tanpa menghakimi, tanpa keinginan mengkoreksi bagian masyarakat Indonesia yang tidak sepaham dengan kita, adalah mencintai Indonesia. Mencintai Indonesia adalah mencintai seluruh bagian dari tubuh kita tanpa terkecuali.

Comments

Ninies said…
Another great and fresh post, Put!

Btw, itu masculine-feminine kali yah. Bukan feminist :)))

Keep writing brooo!

+Ninies
Mahatma Putra said…
Hehehe baru liat gue komen lo Nies,

Kalo feminis apa lawannya? patriarki ya? :p maklum udah lama ga main ke jp nih hehee

Thanks ya Nies! :)

Popular posts from this blog

Heart of Gold

Kandy-Colombo-Kandy

Seminggu Pertama di Sri Lanka!