Fenomena Eksistensi dan Alienasi Manusia Melalui Jejaring Sosial

Generasi yang lahir di era tahun 80 dan 90 mungkin adalah generasi yang benar-benar lahir di era peledakan teknologi dan benar-benar mengalami fenomena tersebut. Dengan lahirnya internet melalui world wide web (www), kemudian generasi ini lahir ditelan pesatnya kemajuan teknoloogi yang semakin menyatukan seluruh dunia lewat layar kaca yang sekarang ini bahkan dapat diakses dari genggam tangan manusia seluruh dunia.

Sejak manusia pertama kali dapat berpikir dan menggunakan akal sehatnya dan mengekspresikan pemikiran dan keinginannnya lewat hal-hal yang berada di luarnya, manusia kemudian berinovasi untuk menggunakan banyak hal-hal yang nyata maupun abstrak, benda maupun pemikiran, untuk menjadi atribut yang melengkapi diri manusia dan secara personal menjadikannya utuh. Manusia bereksistensi, dan ia hanya dapat bereksistensi melalui hal-hal yang berada di luarnya.

Sejak lahir manusia bereksistensi dalam tiap saat kehidupannya, dari awal hidupnya ia bereksistensi lewat suara tangisnya, hingga akhirnya sampai ia mati ia pun masih bereksistensi dengan peti mati, tanah kuburan yang harganya semakin melambung, dan nisan mahal yang menghias makam tempat istirahat terakhirnya.

Dalam kesehariannya manusia bereksistensi lewat hal-hal sederhana seperti sepatu bermerk yang ia pakai, ritual agama yang dijalani hari per harinya, dan dalam konteks ini ia bereksistensi lewat dunia maya, dimana ia dapat mengekspresikan dirinya setiap saat. Untuk tidak perlu merasa kosong dan sendiri bahkan dalam waktu kesendiriannya.

Pertama kali masalah tentang eksistensialime ini muncul saat Kierkegaard, seorang filsuf eksistensi Denmark kenamaan melihat banyaknya kemerosotan rasio manusia akan nilai 'berada' mereka, yang kemudian konsekuensinya adalah ketakutan dan kehidupan yang absurd.

Dalam kehidupan masyarakat urban pada era posmodern ini, eksistensi manusia tidak banyak ditentukan dari benda-benda nyata saja, bahkan kepopuleran benda-benda riil semakin bergeser oleh kehadiran benda-benda abstrak dalam menghadirkan nilainya sebagai manusia.

Pada permulaan zaman modern mungkin kita dapat melihat bagaimana prestise seseorang ditentukan oleh mobil yang ia kendarai, ataupun sepatu apa yang ia pakai. Memang, jejak materi sebagai penanda pemenuhan manusia tidak akan pernah pudar, faktanya bahkan dalam memenuhi kebutuhan eksistensinya dalam hal-hal yang abstrak, manusia tetap membutuhkan benda-benda nyata –seperti uang—sebagai syarat pemenuhannya.

Namun dalam era sekarang, saat pemenuhan kebutuhan fisik dirasa sudah mencukupi, masyarakat urban semakin butuh untuk mengaktualisasikan dirinya lewat dunia maya, yang sekarang ini sudah menjadi simbol eksistensi masyarakat urban.

Facebook, twitter dan berbagai media jejaring sosial lain seperti plurk sekarang dirasa sudah menjadi kebutuhan yang dirasa bukan lagi kebutuhan sekunder apalagi tersier. Kebutuhan eksistensi masyarakat urban di dunia maya sekarang sudah menjadi kebutuhan primer yang seakan tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan sehari-hari mereka.

Jika disikapi secara bijak fenomena ini dapat menjadi suatu titik awal dimana materi tidak lagi menjadi suatu tolak ukur manusia dalam pemenuhan kebutuhan eksistensinya. Dalam satu sisi ini adalah sebuah hal yang harus dibanggakan. Manusia sekarang lebih merasa bangga saat ia bisa mendapatkan 1000 follower di twitter dibandingkan mempunyai motor bebek tipe terbaru.

Namun jika kita dapat cermati dengan baik ternyata fenomena ini juga diikuti dengan efek samping yang tidak kalah hebatnya dengan nilai positif yang ada.

Alienasi manusia sekarang semakin menggila dengan berbagai gadget yang ada di genggaman manusia, yang tidak mungkin untuk kemudian memindahkan hidup manusia dari alam nyata ke alam maya.

Dalam tingkat candu dan ketergantungan yang tinggi antara manusia dengan dunia maya, kemudian kebutuhan eksistensi manusia tersebut bukan tidak mungkin mengikat manusia dan akhirnya mengurung manusia dalam penjara abstrak baru yang bernama “dunia maya.”

Secara tidak sadar bahkan mungkin manusia akan makin diikat dan bahkan kemudian dikontrol oleh jejaring sosial yang akhirnya melahirkan sebuah kekuatan kapital baru, yakni media online itu sendiri.

Hal ini sudah lama diprediksi oleh Jurgen Habermas, bapak penjaga gawang filsafat modern, bahwa manusia pada akhirnya bukannya menjadi manusia yang utuh dengan adanya perkembangan teknologi, tetapi justru teralienasi dengan ketergantungannya akan kebutuhan teknologi tersebut.

Alieansi ini kemudian akan menghasilkan sebuah kesadaran palsu yang pada akhirnya mengungkung manusia sehingga tidak dapat berpikir secara sehat dan tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi padanya atas fenomena yang terjadi dalam hidupnya tersebut.

Anthony Giddens, seorang sosiolog Britania menjabarkan pemahamannya tentang “agen.” Menurutnya “agen” adalah manusia yang sadar akan apa yang ia lakukan dan mampu menjelaskannya lewat kata-kata, dimana akhirnya manusia dapat berdialektika atas segala fenomena yang terjadi dalam hidup mereka.

Mungkin pemahaman Giddens akan “agen” adalah sebuah solusi ideal bagi segenap insan posmodern dalam menghadapi fenomena ini, dimana kemudian setiap kita dapat memahami fenomena jejaring sosial dan pada akhirnya dapat menggunakannya dengan tepat guna dalam rangka pemenuhan kebutuhan kita untuk bereksistensi secara lebih bijaksana.

Comments

Popular posts from this blog

Heart of Gold

Kandy-Colombo-Kandy

Seminggu Pertama di Sri Lanka!