Dialektika Tentang Manusia Lewat Homo Floresiensis
Homo Florsesiensis adalah spesies yang ditemukan pada tahun 2007 di Liang Bua, Flores, NTT, Indonesia. Penemuan tentang spesies manusia baru diluar daripada Homo Sapiens dan Homo Neandertal di tanah flores ini secara tidak langsung mengubah konsep manusia yang sekarang sudah terbentuk di dunia.
Dalam peradaban sekarang, manusia tergolong dalam spesies Homo Sapiens. Perkembangan tentang bagaimana manusia untuk menjadi manusia seperti sekarang pun, yakni melalui evolusi, masih mempunyai banyak pertentangan dan berbagai macam teori dukungan dan sanggahan.
Sedangkan nenek moyang Homo Floresiensis dikatakan berasal dari Homo Erectus yang kemudian mengembara dan berhenti di ujung lautan di Flores, diluar fakta bahwa masih banyak kontroversi tentang eksistensi dari Homo Floresiensis itu sendiri.
Yang sangat menarik dari fenomena ini adalah bahwa Homo Floresiensis adalah jenis manusia yang mempunyai tinggi badan maksimal 100 cm, yang menurut para ahli antropologi, merupakan salah satu bentuk penyusutan dari Homo Erectus –yang terkenal dengan badannya yang besar— yang menyesuaikan diri dengan alam yang keras dan sulit –sehingga mereka mencoba menyusutkan diri untuk bisa tetap bertahan hidup dengan mengurangi porsi makan mereka.
Menurut para ahli, pulau adalah sebuah tempat yang sangat unik dan istimewa dalam sebuah proses evolusi. Dengan pola kehidupan yang ‘terbalik’ di Flores, ada sejenis perubahan rantai makanan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh pada manusia dan juga hewan lagi di sekitar sana. Manusia, gajah, dan kebanyakan hewan berdarah panas kemudian menyusut menyesuaikan dengan keadaan alam, sedangkan Komodo, salah satu jenis hewan berdarah dingin, kemudian mengembang menjadi besar.
Dalam tahapan pencarian akan esensi dari konsep manusia itu sendiri, sangat menarik untuk melihat bahwa dalam setiap tahapan zaman pengertian kita tentang manusia akan selalu berubah dan berkembang. Kegamangan manusia akan dirinya pun selalu melahirkan banyak pertanyaan yang selalu berusaha untuk dijawab dari generasi ke generasi.
Apa dan siapakah manusia itu? Apakah Homo Floresiensis –atau yang kemudian disebut para antropolog dengan hobbit—itu adalah juga 'manusia' yang ada di kepala masyarakat sekarang? Apakah kriteria untuk menjadi manusia didasarkan pada jenis spesiesnya –Homo Sapiens, Homo Neandertal atau Homo Floresiensis? Dan akhirnya mengapa kita menjadi 'manusia'?
Dengan berbekal akal budi dan rasa ingin tahu, umat manusia senantiasa ditantang oleh zaman untuk terus menggali esensi dan eksistensi mereka di dunia ini. Untuk terus berdialektika dari generasi ke generasi.
Dalam peradaban sekarang, manusia tergolong dalam spesies Homo Sapiens. Perkembangan tentang bagaimana manusia untuk menjadi manusia seperti sekarang pun, yakni melalui evolusi, masih mempunyai banyak pertentangan dan berbagai macam teori dukungan dan sanggahan.
Sedangkan nenek moyang Homo Floresiensis dikatakan berasal dari Homo Erectus yang kemudian mengembara dan berhenti di ujung lautan di Flores, diluar fakta bahwa masih banyak kontroversi tentang eksistensi dari Homo Floresiensis itu sendiri.
Yang sangat menarik dari fenomena ini adalah bahwa Homo Floresiensis adalah jenis manusia yang mempunyai tinggi badan maksimal 100 cm, yang menurut para ahli antropologi, merupakan salah satu bentuk penyusutan dari Homo Erectus –yang terkenal dengan badannya yang besar— yang menyesuaikan diri dengan alam yang keras dan sulit –sehingga mereka mencoba menyusutkan diri untuk bisa tetap bertahan hidup dengan mengurangi porsi makan mereka.
Menurut para ahli, pulau adalah sebuah tempat yang sangat unik dan istimewa dalam sebuah proses evolusi. Dengan pola kehidupan yang ‘terbalik’ di Flores, ada sejenis perubahan rantai makanan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh pada manusia dan juga hewan lagi di sekitar sana. Manusia, gajah, dan kebanyakan hewan berdarah panas kemudian menyusut menyesuaikan dengan keadaan alam, sedangkan Komodo, salah satu jenis hewan berdarah dingin, kemudian mengembang menjadi besar.
Dalam tahapan pencarian akan esensi dari konsep manusia itu sendiri, sangat menarik untuk melihat bahwa dalam setiap tahapan zaman pengertian kita tentang manusia akan selalu berubah dan berkembang. Kegamangan manusia akan dirinya pun selalu melahirkan banyak pertanyaan yang selalu berusaha untuk dijawab dari generasi ke generasi.
Apa dan siapakah manusia itu? Apakah Homo Floresiensis –atau yang kemudian disebut para antropolog dengan hobbit—itu adalah juga 'manusia' yang ada di kepala masyarakat sekarang? Apakah kriteria untuk menjadi manusia didasarkan pada jenis spesiesnya –Homo Sapiens, Homo Neandertal atau Homo Floresiensis? Dan akhirnya mengapa kita menjadi 'manusia'?
Dengan berbekal akal budi dan rasa ingin tahu, umat manusia senantiasa ditantang oleh zaman untuk terus menggali esensi dan eksistensi mereka di dunia ini. Untuk terus berdialektika dari generasi ke generasi.
Comments