Di Sebuah Kotak Telepon Umum
Temanku panik, ia berlari sampai terengah, putus hampir nafasnya. Ia bingung mencari eskrim paddle pop yang tadi pagi dibelikan ibunya. Seingatnya eskrim itu ia letakkan di atas kulkas sesudah ia mengeluarkannya dari freezer. Ia tidak suka eskrim saat terlalu padat, ia siangi dulu di atas kulkas supaya lebih creamy dan giginya tidak sakit karena harus menggigit krim beku. Maklum giginya sensitif.
Aku masih tujuh tahun, aku ikut sedih ia menghilangkan eskrimnya, padahal aku sudah bilang nanti aku juga mau minta cicip sedikit. Maklum saat itu aku tinggal di Kalimantan, jarang ada eskrim lezat bisa tinggal di kulkas teman-temanku.
Temanku sedang memakai kostum batman, aku sendiri sedang memakai baju dengan lambang huruf “S” di dadaku. Aku masih bingung itu baju Superboy atau Superman. Tapi tidak kenapa, toh aku suka dengan keduanya, aku tetap si manusia super.
Akhirnya kami berdua mengeluarkan kendaraan kami masing-masing. Ia dengan bat-mobile nya, sepeda federal usang tahun 1990, sementara aku menggenjot polygon keluaran terbaru, seakan sedang meluncur terbang diantara angin. Kami tahu sekarang saat untuk mencari siapa penjahatnya, siapa pencuri eskrim yang seharusnya kami nikmati bersama.
Selang tiga rumah ada sebuah kotak telepon umum. Kadang aku suka melihat tingkah bermacam orang saat merasa sendiri dan terlindungi di kotak itu. Salah satu teman kami sedang berdiri di dalam sana, menghadap ke arah telepon, tapi tidak satu dari kedua tangannya menggenggam gagang. Setahuku ia adalah seorang Esper (walaupun ia laki-laki), jadi wajar jika menggunakan kemampuan telepatinya untuk berbicara tanpa memegang gagang.
“Ya sudah, ayo kita masuk lebih jauh ke hutan!” seruku.
Aku dan temanku kemudian menggenjot sepedaku lebih jauh ke jantung hutan. Maklum di kompleks tempat tinggalku, hutan memang ada di kanan kiri setiap rumah. Biarpun kami tinggal di daerah yang khusus dirawat oleh perusahaan pupuk tempat ayah kami bekerja, babi hutan tetap akan datang saat malam untuk mencari sisa makanan di tong-tong sampah perumahan kami.
Aku curiga dengan temanku Si Buta dari Goa Hantu. Sepulang sekolah ia pasti mampir sebentar ke rumah temanku, tapi kemudian selalu pergi ke hutan untuk bermain voli. Kalau saat itu usiaku sudah 20 tahun, aku pasti bingung kenapa ada lapangan voli di tengah hutan. Tapi saat itu yang aku tahu lapangan voli itu tempat Si Buta dari Goa Hantu berkumpul bersama gerombolannya. Aku sebal karena ia selalu mampir untuk main Sega di rumah temanku (sehingga merebut jatah giliranku bermain), lalu setelah puas ia langsung pergi tanpa mengajak aku dan temanku.
Aku yakin sekarang dia sedang menikmati eskrim kami itu dengan gengnya. Sampai akhirnya begitu sampai di sana aku kecele. Lapangan itu kosong, rupanya aku salah, setelah aku sampai ke rumah si Buta, aku baru tahu kalau ia sedang demam, sudah dua hari tidak masuk sekolah. Pantas aku tidak bermain Sega dengan dia tadi siang. Aku lupa. Temanku makin sedih di sampingku, seakan aku sudah mengajak dia pergi hanya untuk mendapat sia.
Aku tidak habis akal,
“Ayo sekarang kita kembali ke arah rumahmu, ada yang mau aku perlihatkan!” ajakku.
Kemudian kami kembali meluncur. Sesekali tanganku kulepas dari stang sepeda untuk direntang ke depan meniru gaya Superman (atau Superboy) terbang. Tidak berapa lama kami sampai. Aku duluan karena terbang tentu lebih cepat dibanding bat-mobile.
“Aku punya ide, kita minta tolong Esper untuk mencari pelakunya dengan kekuatan telepatinya!” jelasku penuh semangat.
Esper masih berdiri di dalam kotak telepon, kemudian dengan kencang aku ketok kaca penutupnya, meminta ia segera membukakan pintu. Tapi ia tetap berdiri tanpa berbalik muka ke arahku, sampai tiba-tiba ia berlari keluar menubruk aku dan temanku. Ia lari ke rumahnya yang sangat dekat dengan kotak telepon sakralku itu.
Aku heran kenapa dia tidak melakukan teleportasi seperti biasanya. Tetapi kemudian segala pertanyaaku terjawab. Ia telah menodai perjanjian kita sendiri sebagai pembela kebenaran. Ada banyak tetes krim dan sebungkus kosong paddle pop, yang sudah kami cari ke jantung hutan sampai ke Goa Hantu kediaman Si Buta.
Ia menodai kotak teleponku. Aku selalu meninggalkan baju dan kacamataku di situ, karena tentu itu adalah satu-satunya tempatku berganti baju sebelum menjadi manusia super.
Aku sedih kemudian aku berkata pada temanku.
“Pantas ia tidak bisa teleport ke rumahnya, ia sudah menggunakan kekuatan supernya untuk mencuri eskrim kita! Sekarang dia sudah kehilangan kekuatannya!”
Aku lihat temanku mau menangis melihat eskrimnya sudah lumat. Aku jadi menangis duluan. Aku gagal menyelamatkan dunia kami, padahal sebagai seorang manusia super seharusnya aku lebih kuat dari temanku yang cuma seorang manusia biasa dengan lambang kelelawar.
17 tahun kemudian aku bertemu lagi dengan temanku si manusia biasa itu.
“Seorang Esper telah menghancurkan mimpi kita,” kenangku kembali mengingat saat kami masih sesama rekan pembela kebenaran.
‘”Dia bukan Esper bodoh! Aku lihat dia diam-diam mengambil eskrimku dari atas kulkas!”
“Sejak kapan kamu tahu?” tanyaku terheran.
“Sejak saat aku lari kesana-kemari mencari eskrimku,” jawabnya santai.
“Kalau kamu sudah tau kenapa kamu mau aku ajak ke hutan, lapangan voli, sampai ke rumah si Buta?!” agak emosi aku mendengarnya.
“Aku ingin bermimpi lebih lama, percaya kita semua masih pahlawan pembela kebenaran,” ucapnya miris.
Aku tersenyum, ingat tempatku dulu melepas seragam sekolah kemudian mengenakan kaos biru dengan “S” warna merah di dada.
—
*untuk satu penjahat di gerombolan pembela kebenaran
Aku masih tujuh tahun, aku ikut sedih ia menghilangkan eskrimnya, padahal aku sudah bilang nanti aku juga mau minta cicip sedikit. Maklum saat itu aku tinggal di Kalimantan, jarang ada eskrim lezat bisa tinggal di kulkas teman-temanku.
Temanku sedang memakai kostum batman, aku sendiri sedang memakai baju dengan lambang huruf “S” di dadaku. Aku masih bingung itu baju Superboy atau Superman. Tapi tidak kenapa, toh aku suka dengan keduanya, aku tetap si manusia super.
Akhirnya kami berdua mengeluarkan kendaraan kami masing-masing. Ia dengan bat-mobile nya, sepeda federal usang tahun 1990, sementara aku menggenjot polygon keluaran terbaru, seakan sedang meluncur terbang diantara angin. Kami tahu sekarang saat untuk mencari siapa penjahatnya, siapa pencuri eskrim yang seharusnya kami nikmati bersama.
Selang tiga rumah ada sebuah kotak telepon umum. Kadang aku suka melihat tingkah bermacam orang saat merasa sendiri dan terlindungi di kotak itu. Salah satu teman kami sedang berdiri di dalam sana, menghadap ke arah telepon, tapi tidak satu dari kedua tangannya menggenggam gagang. Setahuku ia adalah seorang Esper (walaupun ia laki-laki), jadi wajar jika menggunakan kemampuan telepatinya untuk berbicara tanpa memegang gagang.
“Ya sudah, ayo kita masuk lebih jauh ke hutan!” seruku.
Aku dan temanku kemudian menggenjot sepedaku lebih jauh ke jantung hutan. Maklum di kompleks tempat tinggalku, hutan memang ada di kanan kiri setiap rumah. Biarpun kami tinggal di daerah yang khusus dirawat oleh perusahaan pupuk tempat ayah kami bekerja, babi hutan tetap akan datang saat malam untuk mencari sisa makanan di tong-tong sampah perumahan kami.
Aku curiga dengan temanku Si Buta dari Goa Hantu. Sepulang sekolah ia pasti mampir sebentar ke rumah temanku, tapi kemudian selalu pergi ke hutan untuk bermain voli. Kalau saat itu usiaku sudah 20 tahun, aku pasti bingung kenapa ada lapangan voli di tengah hutan. Tapi saat itu yang aku tahu lapangan voli itu tempat Si Buta dari Goa Hantu berkumpul bersama gerombolannya. Aku sebal karena ia selalu mampir untuk main Sega di rumah temanku (sehingga merebut jatah giliranku bermain), lalu setelah puas ia langsung pergi tanpa mengajak aku dan temanku.
Aku yakin sekarang dia sedang menikmati eskrim kami itu dengan gengnya. Sampai akhirnya begitu sampai di sana aku kecele. Lapangan itu kosong, rupanya aku salah, setelah aku sampai ke rumah si Buta, aku baru tahu kalau ia sedang demam, sudah dua hari tidak masuk sekolah. Pantas aku tidak bermain Sega dengan dia tadi siang. Aku lupa. Temanku makin sedih di sampingku, seakan aku sudah mengajak dia pergi hanya untuk mendapat sia.
Aku tidak habis akal,
“Ayo sekarang kita kembali ke arah rumahmu, ada yang mau aku perlihatkan!” ajakku.
Kemudian kami kembali meluncur. Sesekali tanganku kulepas dari stang sepeda untuk direntang ke depan meniru gaya Superman (atau Superboy) terbang. Tidak berapa lama kami sampai. Aku duluan karena terbang tentu lebih cepat dibanding bat-mobile.
“Aku punya ide, kita minta tolong Esper untuk mencari pelakunya dengan kekuatan telepatinya!” jelasku penuh semangat.
Esper masih berdiri di dalam kotak telepon, kemudian dengan kencang aku ketok kaca penutupnya, meminta ia segera membukakan pintu. Tapi ia tetap berdiri tanpa berbalik muka ke arahku, sampai tiba-tiba ia berlari keluar menubruk aku dan temanku. Ia lari ke rumahnya yang sangat dekat dengan kotak telepon sakralku itu.
Aku heran kenapa dia tidak melakukan teleportasi seperti biasanya. Tetapi kemudian segala pertanyaaku terjawab. Ia telah menodai perjanjian kita sendiri sebagai pembela kebenaran. Ada banyak tetes krim dan sebungkus kosong paddle pop, yang sudah kami cari ke jantung hutan sampai ke Goa Hantu kediaman Si Buta.
Ia menodai kotak teleponku. Aku selalu meninggalkan baju dan kacamataku di situ, karena tentu itu adalah satu-satunya tempatku berganti baju sebelum menjadi manusia super.
Aku sedih kemudian aku berkata pada temanku.
“Pantas ia tidak bisa teleport ke rumahnya, ia sudah menggunakan kekuatan supernya untuk mencuri eskrim kita! Sekarang dia sudah kehilangan kekuatannya!”
Aku lihat temanku mau menangis melihat eskrimnya sudah lumat. Aku jadi menangis duluan. Aku gagal menyelamatkan dunia kami, padahal sebagai seorang manusia super seharusnya aku lebih kuat dari temanku yang cuma seorang manusia biasa dengan lambang kelelawar.
17 tahun kemudian aku bertemu lagi dengan temanku si manusia biasa itu.
“Seorang Esper telah menghancurkan mimpi kita,” kenangku kembali mengingat saat kami masih sesama rekan pembela kebenaran.
‘”Dia bukan Esper bodoh! Aku lihat dia diam-diam mengambil eskrimku dari atas kulkas!”
“Sejak kapan kamu tahu?” tanyaku terheran.
“Sejak saat aku lari kesana-kemari mencari eskrimku,” jawabnya santai.
“Kalau kamu sudah tau kenapa kamu mau aku ajak ke hutan, lapangan voli, sampai ke rumah si Buta?!” agak emosi aku mendengarnya.
“Aku ingin bermimpi lebih lama, percaya kita semua masih pahlawan pembela kebenaran,” ucapnya miris.
Aku tersenyum, ingat tempatku dulu melepas seragam sekolah kemudian mengenakan kaos biru dengan “S” warna merah di dada.
—
*untuk satu penjahat di gerombolan pembela kebenaran
Comments